Powered By Blogger

Selasa, 26 Desember 2017

Tugas Pendidikan Pancasila membahas "Benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT?"

Acara yang disiarkan di Indonesia  Lawyers Club (ILC) di TvOne yang ditayangkan Selasa, 19 September 2017 secara live mulai pukul 19.30 dalam pembahasan mengenai “benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT?”. Dalam acara ini menghadirkan narasumber yang hadir antara lain Pemohon judicial review Prof Euis Sunarti, mantan Ketua MK Prof Mahfud MD, Pakar hukum Refly Harun, Wasekjen MUI Zaitun Rasmin dan Pendiri Gaya Nasional Dedy Oetomo.

Mahkamah konstitusi menolak gugatan uji materi terkait zina dan hubungan sesama jenis (LGBT) yang diatur dalam KUHP. MK menolak dengan pernyataan bahwa MK tidak berwenang untuk melakukan perluasan UU KUHP. Uji materi yang diajukan terkait dengan UU KUHP Pasal 284 yang mengenai hukuman yang berzinah hanya diberikan kepada seseorang yang sudah terikat pernikahan dan apabila pasangan yang dirugikan melakukan pengaduan, UU KUHP Pasal 285 mengenai pemerkosaan yang diadili hanya pemerkosaan laki-laki terhadap perempuan, dan UU KUHP Pasal 292 mengenai hukuman terhadap perbuatan cabul terhadap anak-anak hanya yang dibawah umur. MK menolak bukan karena setuju dengan LGBT tetapi alasannya adalah bahwa perundang-undangan tidak memberi wewenang mereka untuk memutuskan pidana atau undang-undang dan mereka hanya berwenang sebgai negative legislator untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau UUD’45.

Menteri Agama yang bernama Lukman H. Saifudin mengenai dalam hal agama menyatakan “Sebuah agama itu tidak menyetujui tindakan atau perilaku LGBT itu, tidak ada agama yang membenarkan. Jadi, itu sudah menjadi kesepakatan, iktifan dan tidak ada keraguan lagi. Dalam undang-undang perkawinan, sah nya perkawinan kalo dilakukan antara dua jenis kelamin yang berbeda menurut ajaran agama itu jadi tentu tidak ada norma hukum yang melegalisasikan tindakan itu, jadi tinggal cara kita yang gimana agar sebagian saudara-saudara kita yang melakukan tindakan dan perilaku terlepas apapun penyebabnya dia bisa kembali kepada ajaran agama”.

Adapun hasil diskusi yang dinyatakan oleh beberapa narasumber yang hadir pada ILC tanggal 19 Desember 2017

Euis Sunarti (Pemohon Yudicial Review), Ada data yang meningkat tentang penyimpangan seksual (zina, perkosaan, dan lgbt), betapa luar biasa sangat menyedihkan datanya. Suatu desa yang perzinahannya dilakukan 60-70% masyarakatnya disana, kemudian zina itu bukan lagi  dilakukan oleh orang jauh bahkan dengan ipar dengan mertua itu luar biasa datanya. Kemudian terkait dengan cabul sesama jenis, bahkan di daerah terpencil pun sudah ribuan by name by adreess (ada nama dan alamat) karena mereka melakukan konseling, bayangkan jika yang tidak ikut konseling itu luar biasa datanya. Di Kabupaten Bogor misalnya, dengan kami melakukan penelitian kita tahu betapa anak-anak usia 11-13 tahun telah belajar berhubungan seks sesama jenis dan ini menakutkan kita semua karena lingkungan ini sudah tidak aman buat kita, seberapa hebat pun kita melindungi keluarga kita apabila tidak ada sistem yang membangun ini lewat instrumen kebijakan dan hukum ternyata juga tidak kuat.
Dewi Inong Iriani (Dokter Spesialis Kulit Kelamin), Tahun 1993 di Kabupaten Madiun  kasus HIV/AIDS pertama di Madiun, dari lokalisasi tersebut jadi tempat perzinahan. Dewi Inong pun pernah menjadi dokter untuk LSM selama 3 tahun di Ancol Jakarta Utara yang terdapat sekitar 500-an penjajah seks komersial waria dan beberapa gay.
Menurutnya Perilaku seksual LGBT adalah resiko tertinggi tertular IMS & HIV/AIDS, dan penularan HIV tertinggi yaitu melalui dubur. Kemungkinan terbesar terkena HIV/AIDS pada perilaku seksual LGBT itu 60 kali lipat lebih gampang dibanding yang lain. 1 dari 4 LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) sudah terinfeksi HIV/AIDS.
Zaitun Rasmi (Wasekjen MUI), Tentu sangat disayangkan terhadap Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi mengatakan tidak punya hak untuk membuat norma atau penafsiran dll.
Padahal kalau dari sisi negatif atau konsekuensinya ini adalah lebih berat. Yang pertama, Tentu menurut pandangan kita yang mayoritas orang-orang beragama dan mengindahkan akhlak mulia yang kita warisi turun temurun. Yang kedua, dengan adanya hakim Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 orang yg disenting opinion menunjukan inkonsistensi itu, kalau memang Mahkamah Konstitusi tidak berhak untuk membuat norma baru harusnya dari awal diskusi internal dengan 9 orang hakim ini, jangan dua tahun berlangsung seperti ini lalu kemudian “oh anda salah alamat” ini tentu kerugian bagi negara. Yang ketiga, kita berharap di negeri yang baru kembali lagi hidupkan tradisi demokrasi setelah reformasi, Mahkamah Konstitusi itu benar-benar diharapkan sebagai pengawal demokrasi yang terakhir dan diharapkan ada orang-orang yang negarawan, tapi ternyata bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi ini tidak memperhatikan aspirasi yang ada di masyarakat.

NAMUN, ada beberapa pendapat para narasumber yang tidak setuju zina dan kaum LGBT dipidanakan dan menganggap bahwa perilaku ini perilaku hal yang biasa dan tidak menyimpang. Oleh karena itu akan sangat berbahaya bagi penerus bangsa jika dibiarkan terus menurus. 
Beberapa narasumber tersebut diantaranya Cania Citta dan Dede Utomo. Cania Citta selaku Wartawati Geotimes menyatakan bahwa tuntutan yang diajukan ini tidak sesuai dengan kemerdekaan Indonesia karena masih mengekang kehidupan warga negaranya, bahwa negara terlalu campur tangan jika sampai mengurusi dengan siapa seseorang harus berhubungan seks. Sedangkan menurut Dede Utomo selaku Aktivis Gaya Nusantara menyatakan bahwa setuju dengan hubungan seks antara 2 orang siapa saja selama itu tidak mengganggu dan dilakukan suka sama suka dan tidak ada korbannya, nilai KUHP yang ada sekarang sudah benar. Saya tidak setuju homoseksual penyebab HIV/AIDS karena yang benar adalah seks anal dan vaginal merupakan penyebab dari penularan HIV/AIDS. Misalnya, pelaku homoseksual di pesantren-pesantren itu menggunakan di antara paha dan itu aman sekali dari HIV/AIDS. Pendapat seperti ini yang akan berimbas pada hancurnya pemikiran bangsa Indonesia kedepannya.

Prof. Mahfoed Md (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Pada acara tersebut, pendapat Mahfoed menarik perhatian. Menurutnya, ada isu yang beredar tahun 2015 yakni dana sebesar 180 juta dolar AS atau setara dengan 2,4 Triliun masuk ke Indonesia untuk melegalkan LGBT. Apabila dana tersebut bisa masuk ke DPR maka LGBT bisa diloloskan. Pembahasan soal UU KUHP yang berisi soal zina dan LGBT adalah perbuatan pidana yang kini masih tertahan di DPR. Pasalnya, sejumlah anggota DPR belum menyetujui zina dan LGBT termasuk tindak kriminal atau bukan.
Agama manapun tidak suka perzinahan dan itu kesadaran hukum kita. Oleh sebab itu zina sudah pantas untuk dikriminalisasi dalam arti dijadikan isi aturan hukum, kalau di dalam agama islam itu dikatakan “jangan mendekati zina karena zina itu perbuatan keji “
Dasar konstitusinal kita menyatakan bahwa LGBT harus dilarang karena bertentangan dengan konstitusi kita, tetapi yg melarang itu legislatif bukan Mahkamah Konstitusi jadi jangan paksa-paksa kesitu. Karena LGBT dan zina harus diberi hukuman lebih berat dari yang ada di KUHP.

Oleh sebab itu saya ingin menghimbau hentikan caci maki, tidak ada disini yang menyatakan LGBT dan zina dibolehkan tetapi itu memang kewenangan mutlak lembaga legislatif.