REVIEW JURNAL
Judul : Kenapa Seseorang Melakukan
Manipulasi Laporan Keuangan? Studi Dengan
Pendekatan Skenario Kasus Dilema Etika
Peneliti : Hafiez Sofyani, Nadia Rahma
Jurnal : Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Islam
Volume : 5(1) halaman 31-46
Tahun : 2017
Reviewer:
Ahmad Maulana
Karim
Meilani Safitri
Monica Dwi
Lestari
Siti Fauziah
Syifa Fauziah
Ulfa Khairunnisa
Pendahuluan
Pelaporan
keuangan yang tidak jujur dapat menyebabkan masalah dan menjadi sensitif untuk
dibahas di kalangan akuntansi. Kecurangan seperti praktik manipulasi dapat
memicu kebangkrutan dan menyebabkan melemahnya perekonomian juga berdampak pada
daya beli masyarakat yang melemah, sehingga akan menciptakan pergolakan sosial.
Contoh kasus manipulasi tersebut seperti laporan keuangan Yunani (sektor
publik). Adapun kasus Enron yang menyebabkan hampir bursa saham di seluruh
dunia mengalami gejolak, hingga berujung pada anjolknya harga pasar saham. Pada
tahun 2015 terungkapnya manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh
Toshiba. Alasan kedua perusahaan besar tersebut melakukan kecurangan hampir
yakni untuk mempertahankan citra perusahaan dengan nilai laba yang ditinggikan,
agar investor tetap menaruh ketertarikan pada perusahaan.
Penelitian
ini fokus untuk menentukan tindakan apa yang perlu dilakukan dalam mencegah dan
mendeteksi kecurangan oleh pembuat laporan keuangan, Secara teoritis, hasil
penelitian ini memberikan penjelasan secara kongkrit atas alasan berperilaku
seseorang dalam menghadapi dilema etika saat pelaporan keuangan untuk tujuan tax
avoidance. hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang berguna bagi
para legislator dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan praktik
penyusunan laporan keuangan maupun praktik pendidikan bagi calon akuntan di masa
mendatang hingga cara bagaimana memitigasi faktor pendorong praktik kecurangan.
Telaah Teoritis
Fraud adalah bentuk kecurangan hanya untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk keperluan pribadi maupun lembaga/organisasi.
Dampak yang terjadi atas kecurangan fraud mengakibatkan kerugian yang sangat
besar. Di dalam pemerintah, kecurangan fraud dampaknya pada kebocoran keuangan
Negara bukan hanya itu saja dampaknya bisa membuat kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah dan rendahnya tingkat investasi di Negara.
Fraud Triangle (Segitiga Fraud)
Ada 3 hal yang mendorong terjadinya
sebuah upaya fraud, yaitu pressure (dorongan), opportunity (peluang), dan
rationalization (rasionalisasi), sebagaimana tergambar berikut ini:
Pressure (Dorongan)
Pressure adalah dorongan seseorang
untuk melakukan terjadinya fraud, contohnya gaya hidup mewah, hutang atau
tagihan yang menumpuk, dll. Pada dasarnya yang mendorong terjadinya fraud
adalah kebutuhan dikehidupan sehari-hari dan juga mendorong seseorang menjadi
serakah.
Opportunity (Peluang)
Opportunity adalah peluang yang
memungkinkan akan terjadinya fraud. Biasanya faktor utama kejadian ini karena
internal control suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan, dan penyalahgunaan
wewenang. Hal yang menonjol dala, opportunity adalah control yang tidak baik
akan memberi peluang untuk terjadinya fraud.
Rationalization (Rasionalisasi)
Rasionalisasi adalah dimana sikap yang
ditunjukan oleh pelaku untuk mencari pembenaran atas kesalahannya misalnya
seperti.
1. Perusahaan
yang mempunyai laba yang besar sehingga membuat pelaku mengambil sedikit dari
keuntungan yang ada.
2.
Tindakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga
3.
Pelaku
merasa berhak atas pendapatan yang dia kerjakan
Menurut The Association of Cerified
Fraud Examiners (ACFE), Fraud merupakan perbuatan yang melawan hukum dengan
tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan yang salah) yang dilakukan
oleh orang dari dalam atau dari luar untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.
Fraud
tree menggambarkan:
1.
Penyimpangan
Atas Aset (Asset Misappropriation)
Aset mempengaruhi
penyalahgunaan atau pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini
merupakan bentuk fraud yang dapat mudah dideteksi dikarenakan sifatnya tangible
yang dapat diukur.
2.
Pernyataan
Palsu (Fraudulent Statement)
Fraudulent statement meliputi
tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau
instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan
keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan
istilah window dressing.
3.
Korupsi (Corruption)
Fraud sejenis ini yang paling sulit dideteksi dikarenakan
menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti hal nya suap dan korupsi, di
mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang
yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang
baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali
tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisma).
Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak
sah/illegal (illegal gratuities),
dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Rumusan
Masalah
1. Apa Sajakah alasan yang
mendasari seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan manipulasi laporan
keuangan ?
Metode
Penelitian
Tujuan pengalaksanaan
penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengumpulkan alasan mengapa seseorang sampai mau atau
tidak mau melakukan kegiatan manipulasi pelaporan keuangan. Untuk pelaksanaan
penelitian ini menggunakan model pendekatan skenario cerita kasus dari model
penelitian eksperimen Liyanarachchi dan Chris Newdick (2009), Sofyani dan
Pramita (2014), dan Madein dan Sholihin(2015). Penelitian ini hanya untuk
mengetahui pembuktian, apakah melakukan mark up atau tidak.
Penelitian ini untuk
mengetahui perilaku seseorang saat pelaporan keuangan dan alasan atas keputusan
hakim yang mereka buat ketika melakukan pelaporan keuangan tersebut menghadapi
dilema etika. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa program studi
akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang telah menempuh mata
kuliah akuntansi keuangan dan perpajakan.
Mengenai prosedur
skenario kasus dilema etika untuk meyakinkan apakah partisipan siap untuk
mengikuti skenario kasus dilema etika dalam proses pelaporan keuangan peneliti
melakukan cek manipulasi. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam pengecekan
cek manipulasi sebagai berikut 1. Apakah anda memahami proses pelaporan
keuangan pajak?. 2. Apakah anda memahami apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi
fisikal dan bagai mana cara melakukannya?. 3. Apakah anda memahami praktik
penghindaran pajak (tax avoidance)?. Partisipan yang yang tidak memenuhi syarat
tidak akan diikutkan dalam skenario kasus dilema etika pelaporan keuangan ini.
Untuk analisis
penelitian ini menggunakan analisis tematik deduktif, yakni metode analitik
kualitatif untuk mengidentifikasi, menganalisis dan melaporkan pola atau tema
yang terdapat di dalam data (Braun dan Clarke, 2006).
Penelitian
ini dilakukan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta dengan menggunakan
mahasiswa program studi Akuntansi semester enam sebagai subyek penelitian.
Mahasiswa yang dipilih menjadi subyek penelitian harus memenuhi kriteria telah
menempuh mata kuliah akuntansi keuangan dan perpajakan. Tujuan dibuatnya
kriteria tersebut adalah agar mahasiswa memahami proses penyusunan laporan
keuangan yang tujuannya untuk pembayaran kewajiban perpajakan oleh suatu
perusahaan.
Pembahasan
Tabel
1. Alasan Tidak Melakukan Manipulasi Laporan Keuangan
Alasan
|
Jumlah
|
1%
|
Melanggar
ajaran agama (termasuk dusta)
|
31
|
36.90%
|
Mempertahankan
kejujuran
|
17
|
20.24%
|
Warga
negara yang baik dan taat aturan
|
13
|
15.48%
|
Mengharapkan
kebaikan dari kejujuran
|
10
|
11.90%
|
Takut
diketahui dan mendapatkan sanksi hukuman
|
8
|
9.52%
|
Profesionalisme
seorang akuntan
|
3
|
3.57%
|
Meski
tidak diatur secara detail, tetap dinilai melanggar perundang-undangan
|
1
|
1.19%
|
Selisih
laba akuntansi dan setelah rekonsiliasi sangat besar, jadi dianggap sebagai tax evasion, bukan
tax avoidance
|
1
|
1.19%
|
Laki-laki
|
19
|
31.15%
|
Perempuan
|
42
|
68.85%
|
Jumlah
|
61
|
100.00%
|
Total
Sampel
|
84
|
Sumber : Diolah
(2016)
Dari tabel 1
dapat disimak bahwa alasan paling dominan dari seseorang tidak mau melakukan
manipulasi laporan keuangan adalah karena aktivitas tersebut dinilai melanggar
ajaran agama, yakni berlaku dusta. Hal itu ditunjukkan dengan jawaban responden
sebanyak 31 orang (36,90%),Temuan ini sangat menarik karena mengalahkan alasan
takut diketahui dan mendapatkan sanksi hukuman yang mendapat respon 8 orang (9,
52%).Dari jawaban tersebut, secara tidak langsung para responden meyarankan
agar pelaporan keuangan diperusahaan oleh akuntan sebaiknya tidak hanya
memperhatikan aspek akuntabilitas kepada makhluk, dalam hal ini pemegang
kepentingan duniawi (stake-holders), tetapi juga memandang perlunya
akuntabilitas Ilahiah (kepada Allah Swt.) disertai dengan keyakinan
adanya akuntabilitas dan responsibilitas ukhrawi (Mulawarman, 2009; Triyuwono,
2012; Abdurahim, 2016). Berikut salah satu kutipan jawaban partisipan:
“Sebagai
seorang akuntan, seharusnya tokoh yang ada di kasus memikirkan bahwa tindakan
yang dilakukannya terkait tax avoidance akan dipertanyakan oleh Allah di hari
akhir, meskipun mungkin tidak akan diketahui oleh negara. Perbuatan
memanipulasi walau bagaimanapun adalah perbuatan dusta karena tidak menyajikan
laporan keuangan apa adanya”
Alasan dari
jawaban responden yang mengaitkan manipulasi laporan keuangan dengan penalaran
keagamaannya ini sejalan dengan pandangan beberapa peneliti yang menilai bahwa
aspek religius dalam diri seseorang akan mampu menjadi penggiring seseorang
dalam berperilaku dalam dunia bisnis, khususnya dalam proses penyusunan laporan
keuangan (lihat: Sofyani dan Pramita, 2014; Juanda dan Sofyani, 2016; Mayhew
dan Murphy, 2009; Fishbein dan Ajzen 1974, 1975; Ajzen dan Fishbein 2005;
Mazereeuw et al, 2014). Dalam penjelasan teori perilaku yang direncanakan,
Ajzen dan Fishbein (2005) menjelaskan bahwa sikap dalam berperilaku memiliki hubungan
dengan keyakinan keberperilakuan (behavioral beliefs) yang dipengaruhi oleh
komitmen religius yang diyakini atau dianut oleh seseorang.
Dalam pandangan
Islam, seorang muslim harus masuk ke dalam Islam (agama yang dianutnya) secara
kaffah (menyeluruh) -tidak parsial- mencakup aspek keyakinan (akidah), hukum
dan ibadah (syariah) dan akhlak (perilakutermasuk etika di dalamnya)
(Abdurahim, 2016). Ke kaffah-an seseorang yang mencakup akhlak dijelaskan dalam
salah satu ayat Alqur’an (QSAlmu’minun [23], ayat: 8), bahwa dijelaskan bahwa
seorang Mu’min (orang yang kuat dan teguh keimanannya) adalah orang yang
senantiasa menjaga amanah.
Yang Artinya:
Dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Dari ayat di
atas, jika dikaitkan dalam konteks dunia akuntansi, akuntan (pajak) adalah
seseorang yang diamanahi untuk menghitung dan melaporkan keuangan suatu
entitas, dimana hasil perhitungan dan pelaporannya ini akan digunakan oleh
banyak orang dalam pengambilan
keputusan yang
bersifat ekonomi. Dengan demikian, jika seorang akuntan melakukan hal yang
bertentangan dengan etika (akhlak), maka isu mengenai bagaimana pola pendidikan
karakter yang tepat bagi para akuntan, menjadi isu penelitian yang masih harus
terus digali. Jika merujuk pada perkembangan dunia akuntansi dewasa ini, dalam
konteks pendidikan akuntan, masih terfokus pada pendidikan komptensi
profesional, khususnya pengetahuan. Sementara,aspek karakteristik individu
berbudi luhur dari para akuntan masih minim mendapat perhatian (Juanda dan
Sofyani, 2016). Bahkan, keberadaan pendidikan etika di kurikulum pendidikan
akuntansi dipandang hanya sebatas mata kuliah pelengkap. Setiawan (2016)
menemukan Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) masih banyak tidak memuat
nilai-nilai pancasila yang sarat dengan budi luhur. Itu artinya, dalam ranah
regulasi kode etik akuntan Indonesia saja, aspek karakter individu akuntan yang
berkaitan dengan nilai-nilai nusantara masih mendapat perhatian yang minim.
Berikut salah satu kutipan jawaban partisipan :
“.... sebaiknya
tokoh (di dalam skenario kasus) mempertahankan kejujurannya... selain itu,
tokoh itu juga harus yakin bahwa kejujuran akan mendatangkan kebaikan. Bisa
jadi di amsa mendatang dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai buah
dari kejujurannya.”
Berikutnya,
temuan yang sangat menarik lainnya adalah alasan takut diketahui dan
mendapatkan sanksi hukuman hanya dijawab oleh 8 orang (9,52%) dan tidak menjadi
alasan paling mayoritas. Ini atinya, alasan seseorang mempertahankan
integritasnya dalam menyusun laporan keuangan tidak didominasi oleh ketakutan
akan hukuman atau ancaman, tetapi masih dominan dari aspek religiusitas dan
kesadaran. Hasil ini menunjukkan bahwa orang Indonesia (yang diwakili oleh
sampel ini dengan segala keterbatsannya) masih memprioritaskan aspek kesadaran
moral yang berdasar pada ajaran agama dan nilai-nilai luhur nusantara. Berikut
salah satu kutipan jawaban partisipan:
“sebaiknya
tokoh menghindari malkukan manipulasi laporan keuangan. Hal itu dikhawatirkan
akan diketahui oleh negara dan yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi
hukuman denda bahkan penjara. Selain itu, orang lain akan menilai tokoh menjadi
orang yang tidak jujur. Sehingga, dia akan mengalami kesusahan di amsa
mendatang.”
Tabel 2. Alasan
melakukan manipulasi laporan keuangan
Alasan
|
Jumlah
|
%³
|
Dianggap sebagai sesuatu yang dapat diterima karena tidak
melanggar undang-undang
|
18
|
64,29%
|
Mengharap mendapatkan bonus /insentif
|
5
|
17.86%
|
Risiko dipecat
|
2
|
7.14%
|
Diperlukan untuk meningkatkan laba
|
1
|
3.57%
|
Karena perusahaan melakukan CSR sehingga boleh mengurangi
pajak
|
1
|
3.57%
|
Boleh kalau nilainya tidak dianggap besar
|
1
|
3.57%
|
Jumlah
|
28
|
100.00%
|
Laki-laki
|
13
|
56.52%
|
Perempuan
|
10
|
43.48%
|
Jumlah
|
23
|
100.00%
|
Total Sampel
|
84
|
Sumber : Diolah (2016)
Jadi yang bersedia melakukan manipulasi
laporan keuangan dengan tujuan tax avoidance alasan utamanya yaitu karena hal
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga hal tersebut
sah dan boleh dilakukan. Responden yang menjawab demikian sebanyak 18 orang
(64,29%). Pandangan ini serupa dengan konsep fraud triangle, yang menyatakan
bahwa ketika ada celah seseorang akan terdorong untuk melakukan tindak
kecurangan.
Kemudian, partisipan yang beralasan
bahwa manipulasi dengan tujuan tax avoidance sah dilakukan demi mendapatkan
bonus dari perusahaan. Responden yang menjawab sebanyak 5 orang (17,86%). Hal
ini menjelaskan bahwa terdapat keingininan yang kuat pada diri seseorang untuk
memenuhi keinginannya dengan memanfaatkan segala situasi.
Adapula yang beralasan bahwa manipulasi
laporan keuangan dengan tujuan tax avoidance disarankan dan diharapkan dapat
meningkatkan laba perusahaan. Serupa dengan alasan yang menyatakan bahwa
perusahaan melakukan aktivitas social sehingga boleh mengurangi pajak. Hal
tersebut juga mengindikasikan bahwa aktivitas social merupakan beban yang dapat
mengurangi laba perusahaan.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pada penelitian
yang dilakukan kepada mahasiswa akuntansi keuangan dan perpajakan diperguruan
tinggi jogjakarta yaitu rata rata dari mereka tidak mau melakukan manipulasi
laporan keuangan dengan alasan melanggar ajaran agama. Dan yang ingin melakukan
manipulasi laporan keuangan dengan tujuan tax avoidance kerena mereka
menganggap belum adanya peraturan perundabg undangan. Maka, sangat penting bagi
akuntan menjungjung tinggi pendidikan karakter seperti moral agat tidak ada
kecurangan. Dan melakukan pencatatan standar dalam peraturan akuntansi
perpajakan guna memitigasi praktik rekonsiliasi fiscal laporan keuangan yang
mengarah pada manipulasi tersebut.
keterbatasan penelitian ini yaitu,
hanya dilakukan di satu perguruan tinggi saja sehingga hasil penelitian sangat
lemah dan tidak dilakukan kepada akuntan secara langsung agar peneliti
mendapatkan hasil penelitian yang akurat