Acara yang disiarkan di
Indonesia Lawyers Club (ILC) di TvOne yang
ditayangkan Selasa, 19 September 2017 secara live mulai pukul 19.30 dalam
pembahasan mengenai “benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT?”. Dalam acara ini
menghadirkan narasumber yang hadir antara lain Pemohon judicial review Prof
Euis Sunarti, mantan Ketua MK Prof Mahfud MD, Pakar hukum Refly Harun, Wasekjen
MUI Zaitun Rasmin dan Pendiri Gaya Nasional Dedy Oetomo.
Mahkamah konstitusi
menolak gugatan uji materi terkait zina dan hubungan sesama jenis (LGBT) yang
diatur dalam KUHP. MK menolak dengan pernyataan bahwa MK tidak berwenang untuk
melakukan perluasan UU KUHP. Uji materi yang diajukan terkait dengan UU KUHP
Pasal 284 yang mengenai hukuman yang berzinah hanya diberikan kepada seseorang
yang sudah terikat pernikahan dan apabila pasangan yang dirugikan melakukan
pengaduan, UU KUHP Pasal 285 mengenai pemerkosaan yang diadili hanya
pemerkosaan laki-laki terhadap perempuan, dan UU KUHP Pasal 292 mengenai
hukuman terhadap perbuatan cabul terhadap anak-anak hanya yang dibawah umur. MK
menolak bukan karena setuju dengan LGBT tetapi alasannya adalah bahwa
perundang-undangan tidak memberi wewenang mereka untuk memutuskan pidana atau
undang-undang dan mereka hanya berwenang sebgai negative legislator untuk
mencabut pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau UUD’45.
Menteri Agama yang
bernama Lukman H. Saifudin mengenai dalam hal agama menyatakan “Sebuah agama
itu tidak menyetujui tindakan atau perilaku LGBT itu, tidak ada agama yang
membenarkan. Jadi, itu sudah menjadi kesepakatan, iktifan dan tidak ada
keraguan lagi. Dalam undang-undang perkawinan, sah nya perkawinan kalo
dilakukan antara dua jenis kelamin yang berbeda menurut ajaran agama itu jadi
tentu tidak ada norma hukum yang melegalisasikan tindakan itu, jadi tinggal
cara kita yang gimana agar sebagian saudara-saudara kita yang melakukan
tindakan dan perilaku terlepas apapun penyebabnya dia bisa kembali kepada
ajaran agama”.
Adapun
hasil diskusi yang dinyatakan oleh beberapa narasumber yang hadir pada ILC
tanggal 19 Desember 2017
Euis
Sunarti (Pemohon Yudicial Review), Ada
data yang meningkat tentang penyimpangan seksual (zina, perkosaan, dan lgbt),
betapa luar biasa sangat menyedihkan datanya. Suatu desa yang perzinahannya
dilakukan 60-70% masyarakatnya disana, kemudian zina itu bukan lagi
dilakukan oleh orang jauh bahkan dengan ipar dengan mertua itu luar biasa
datanya. Kemudian terkait dengan cabul sesama jenis, bahkan di daerah terpencil
pun sudah ribuan by name by adreess (ada nama dan alamat)
karena mereka melakukan konseling, bayangkan jika yang tidak ikut konseling itu
luar biasa datanya. Di Kabupaten Bogor misalnya, dengan kami melakukan
penelitian kita tahu betapa anak-anak usia 11-13 tahun telah belajar
berhubungan seks sesama jenis dan ini menakutkan kita semua karena lingkungan
ini sudah tidak aman buat kita, seberapa hebat pun kita melindungi keluarga
kita apabila tidak ada sistem yang membangun ini lewat instrumen kebijakan dan
hukum ternyata juga tidak kuat.
Dewi
Inong Iriani (Dokter Spesialis Kulit Kelamin), Tahun 1993 di Kabupaten Madiun kasus HIV/AIDS pertama
di Madiun, dari lokalisasi tersebut jadi tempat perzinahan. Dewi Inong pun
pernah menjadi dokter untuk LSM selama 3 tahun di Ancol Jakarta Utara yang
terdapat sekitar 500-an penjajah seks komersial waria dan beberapa gay.
Menurutnya
Perilaku seksual LGBT adalah resiko tertinggi tertular IMS & HIV/AIDS, dan
penularan HIV tertinggi yaitu melalui dubur. Kemungkinan terbesar terkena
HIV/AIDS pada perilaku seksual LGBT itu 60 kali lipat lebih gampang dibanding
yang lain. 1 dari 4 LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) sudah terinfeksi HIV/AIDS.
Zaitun
Rasmi (Wasekjen MUI), Tentu
sangat disayangkan terhadap Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah
Konstitusi mengatakan tidak punya hak untuk membuat norma atau penafsiran dll.
Padahal
kalau dari sisi negatif atau konsekuensinya ini adalah lebih berat. Yang
pertama, Tentu menurut pandangan kita yang mayoritas orang-orang beragama dan
mengindahkan akhlak mulia yang kita warisi turun temurun. Yang kedua, dengan
adanya hakim Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 orang yg disenting
opinion menunjukan inkonsistensi itu, kalau memang Mahkamah Konstitusi
tidak berhak untuk membuat norma baru harusnya dari awal diskusi internal
dengan 9 orang hakim ini, jangan dua tahun berlangsung seperti ini lalu
kemudian “oh anda salah alamat” ini tentu kerugian bagi negara. Yang ketiga,
kita berharap di negeri yang baru kembali lagi hidupkan tradisi demokrasi
setelah reformasi, Mahkamah Konstitusi itu benar-benar diharapkan sebagai
pengawal demokrasi yang terakhir dan diharapkan ada orang-orang yang negarawan,
tapi ternyata bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi ini tidak memperhatikan
aspirasi yang ada di masyarakat.
NAMUN, ada beberapa pendapat para narasumber yang tidak setuju
zina dan kaum LGBT dipidanakan dan menganggap bahwa perilaku ini perilaku hal
yang biasa dan tidak menyimpang. Oleh karena itu akan sangat berbahaya bagi
penerus bangsa jika dibiarkan terus menurus.
Beberapa narasumber tersebut diantaranya Cania Citta dan Dede Utomo. Cania Citta selaku Wartawati Geotimes menyatakan bahwa tuntutan yang diajukan ini tidak sesuai dengan kemerdekaan Indonesia karena masih mengekang kehidupan warga negaranya, bahwa negara terlalu campur tangan jika sampai mengurusi dengan siapa seseorang harus berhubungan seks. Sedangkan menurut Dede Utomo selaku Aktivis Gaya Nusantara menyatakan bahwa setuju dengan hubungan seks antara 2 orang siapa saja selama itu tidak mengganggu dan dilakukan suka sama suka dan tidak ada korbannya, nilai KUHP yang ada sekarang sudah benar. Saya tidak setuju homoseksual penyebab HIV/AIDS karena yang benar adalah seks anal dan vaginal merupakan penyebab dari penularan HIV/AIDS. Misalnya, pelaku homoseksual di pesantren-pesantren itu menggunakan di antara paha dan itu aman sekali dari HIV/AIDS. Pendapat seperti ini yang akan berimbas pada hancurnya pemikiran bangsa Indonesia kedepannya.
Beberapa narasumber tersebut diantaranya Cania Citta dan Dede Utomo. Cania Citta selaku Wartawati Geotimes menyatakan bahwa tuntutan yang diajukan ini tidak sesuai dengan kemerdekaan Indonesia karena masih mengekang kehidupan warga negaranya, bahwa negara terlalu campur tangan jika sampai mengurusi dengan siapa seseorang harus berhubungan seks. Sedangkan menurut Dede Utomo selaku Aktivis Gaya Nusantara menyatakan bahwa setuju dengan hubungan seks antara 2 orang siapa saja selama itu tidak mengganggu dan dilakukan suka sama suka dan tidak ada korbannya, nilai KUHP yang ada sekarang sudah benar. Saya tidak setuju homoseksual penyebab HIV/AIDS karena yang benar adalah seks anal dan vaginal merupakan penyebab dari penularan HIV/AIDS. Misalnya, pelaku homoseksual di pesantren-pesantren itu menggunakan di antara paha dan itu aman sekali dari HIV/AIDS. Pendapat seperti ini yang akan berimbas pada hancurnya pemikiran bangsa Indonesia kedepannya.
Prof.
Mahfoed Md (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Pada acara tersebut, pendapat Mahfoed menarik perhatian.
Menurutnya, ada isu yang beredar tahun 2015 yakni dana sebesar 180 juta dolar
AS atau setara dengan 2,4 Triliun masuk ke Indonesia untuk melegalkan LGBT.
Apabila dana tersebut bisa masuk ke DPR maka LGBT bisa diloloskan. Pembahasan
soal UU KUHP yang berisi soal zina dan LGBT adalah perbuatan pidana yang kini
masih tertahan di DPR. Pasalnya, sejumlah anggota DPR belum menyetujui zina dan
LGBT termasuk tindak kriminal atau bukan.
Agama
manapun tidak suka perzinahan dan itu kesadaran hukum kita. Oleh sebab itu zina
sudah pantas untuk dikriminalisasi dalam arti dijadikan isi aturan hukum, kalau
di dalam agama islam itu dikatakan “jangan mendekati zina karena zina itu
perbuatan keji “
Dasar
konstitusinal kita menyatakan bahwa LGBT harus dilarang karena bertentangan
dengan konstitusi kita, tetapi yg melarang itu legislatif bukan Mahkamah Konstitusi
jadi jangan paksa-paksa kesitu. Karena LGBT dan zina harus diberi hukuman lebih
berat dari yang ada di KUHP.
Oleh
sebab itu saya ingin menghimbau hentikan caci maki, tidak ada disini yang
menyatakan LGBT dan zina dibolehkan tetapi itu memang kewenangan mutlak lembaga
legislatif.